header kangmasgurucom

Suka Duka Menjadi Guru Sekolah Luar Biasa

 

Aku dan teman


Saya adalah anak ketiga dari 3 bersaudara, berasal dari desa  kecil di Kabupaten Blora. Orang tua Saya berprofesi sebagai petani dan keduanya memiliki  harapan besar agar anak-anaknya mengeyam pendidikan setinggi mungkin. Saya sendiri mengeyam pendidikan formal berbasis agama, mulai dari MI, MTs dan MAN (1989-2021) di Blora. Sementara itu Saya mendapatkan tambahan belajar agama melalui pendidikan agama di Pondok Pesantren Sabilurrosyad Desa Mojowetan Kecamatan Banjarejo saat malam hari. Boleh dibilang lengkap sudah pendidikan yang saya terima, pendidikan umum melalui madrasah formal dan pendidikan agama melalui pesantren.

Setelah tamat dari Madrasah Aliyah Negeri Blora, orang tua berkeinginan untuk memasukkan saya di salah satu pondok pesantren di Jawa Timur, namun hal itu urung dilakukan karena saran dari kakak pertama Saya yang saat itu sedang kuliah di IAIN Walisongo Fakultas Dakwah menginginkan agar Saya melanjutkan kuliah saja di Semarang sepertia Dia. Akhirnya sesuai kesepakatan keluarga Saya mendaftar di IAIN Semarang dan ketika itu memilih Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI, dan alhamdulilah diterima.

Semenjak masih kuliah S1 di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Saya sudah diwanti-wanti oleh orang tua agar cepat lulus dan segera mendaftar sebagai guru. Kenapa harus jadi guru, karena orang tua ingin agar salah satu anaknya menjadi guru. Karena menurut beliau berdua seorang guru adalah orang yang mulia karena mencerdaskan anak bangsa, dan dapat mengangkat derajat keluarga.

Aktif di Pers Kampus

Sejak semester pertama kuliah, Saya sudah mulai aktif berorganisasi, salah satunya ikut aktif di oragnisasi intra kampus tepatnya di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Edukasi. Semester pertama dan kedua saya banyak belajar dari senior-senior saya soal perkualiahan dan juga belajar menjadi seorang wartawan kampus yang aktif menulis.

Sejak menikmati menjadi wartawan kampus, serta sering bertugas liputan inilah cita-cita menjadi wartawan profesional mulai tumbuh dan melupakan amanah dari orang tua agar setelah kuliah menjadi seorang guru. Bahkan saking senengnya di dunia tulis menulis, saya dan beberapa teman aktivis LPM Edukasi mengikrarkan diri setelah lulus akan jadi wartawan nasional dan tidak mau menjadi guru meskipun kita lulusan Fakultas Keguruan Islam, aneh memang tapi itulah cita-cita Saya saat itu.

Benar saja, sejak semester 3 Saya benar-benar jatuh cinta pada dunia pers kampus, karena melalui lembaga ini Saya bisa menulis artikel yang bisa dimuat di media massa yang ketika terbit akan mendapatkan honor yang saya tabung untuk biaya SPP kuliah Saya. Karena jujur saja Saya kuliah dengan biaya sendiri sejak semester 3 sampai dengan lulus. Salah satu sumber penghasilan Saya adalah dari menulis artikel di beberapa media massa saat itu dan juga dari jasa menjadi tenaga tutor belajar privat di dekat kos-kosan.

Karena keasikan berorganisasi di LPM Kampus tugas kuliah Saya sedikit bermasalah, karena seringnya Saya tugas liputan dan akhirnya bolos kuliah. Akibatnya saat tema-teman sudah mulai mengerjakan tugas akhir (Skripsi) Saya masih berjuang mengulang beberapa mata kuliah yang belum sempat terambil. Meskipun demikian, sesuai dengan target Saya bisa lulus kuliah dengan waktu 5 tahun atau 10 semester. Bagiku sendiri lulus kuliah selama 5 tahun adalah waktu yang ideal meskipun banyak teman-teman Saya yang lulus pada semester 9, namun tak sedikit juga yang lulus pada semester 12.

 

Menjadi Kurir Kosmetik dan Penjaga Warnet.

Setelah dinyatakan lulus ujian munaqosah pada tahun 2006, sambil menunggu wisuda Saya mulai mencari pekerjaan dan alhamdulilah Saya ditawari putra dari Dosen Saya yang memiliki usaha jual beli kosmetik untuk menjadi kurir mengantar pesanan di area kota Semarang. Dari pada menganggur akhirnya tawaran itu aku terima sebagai pengisi waktu menunggu wisuda.

Selain menjadi kurir kosmetik, saat itu Saya juga dipercaya untuk menjadi penjaga warnet di sekitar kampus. Biasanya Saya mengantar pesanan kosmetik dari Duhur-Asar dan setelah Magrib Saya berkerja sebagai penjaga warnet hingga tengah malam. Bahkan setelah saya wisuda pada bulan September 2006 kegiatan saya menjadi kurir kosmetik dan penjaga warnet tetap Saya jalani.

Sesuai dengan cita-cita Saya waktu itu, setelah resmi wisuda Saya beberapa kali mencoba peruntungan ikut recruitmen menjadi wartawan baik itu di media massa lokal Jawa Tengah seperti Suara Merdeka, Wawasan dan juga media massa nasional seperti Jawa Pos, Kompas, Sindo, Republika dll. Namun usaha Saya selalu gagal karena Saya tidak diterima di salah satu media massa tersebut.

Namun, meskipun saya berulang kali gagal mendaftar menjadi wartawan, namun hoby menulis artikel tetap Saya jalankan dan Alhamdulilah melalui menulis ini pula Saya bisa menabung sedikit demi sedikit dari honor yang Saya terima. Saat itu Saya benar-benar melupakan amanah dari orang tua bahwa ketika selesai kuliah Saya harus menjadi seorang guru sebagaimana keinginan beliau berdua.

Bahkan ketika Saya pulang ke kampung halaman di Blora, orang tua terutama Ibu selalu bertanya “sudah mengajar di sekolah mana?” pasti itu yang ditanyakan saat Saya pulang. Pertanyaan tersebut biasanya Saya jawab dengan kalimat “Bekerja kan tidak harus jadi guru to Bu”. Bahkan pada suatu ketika Ibu bilang bahwa Saya daftar jadi wartawan tidak keterima mungkin karena memang orang tua ridhonya Saya jadi guru. Saat itulah Saya langsung berpikir, “inikah kekuatan doa dari orang tua kepada anaknya”. Mereka berdua ingin Saya jadi guru, namun Saya pingin jadi wartawan, makanya Saya selalu gagal daftar jadi wartawan karena orang tua tidak Ridho. Sejak saat itulah Saya akhirnya menyerah mengejar impian untuk menjadi seorang wartawan, namun hobi menulis tetap Saya geluti, bahkan hingga saat ini.

 

Aku 

Menjadi Pendidik, Sebuah Pilihan

Setelah beberapa kali orang tua mendesak agar Saya segera menjadi guru, akhirnya setelah 2 tahun pasca wisuda  tepatnya pada tahun 2008 Saya mencoba peruntungan dengan membuat surat lamaran menjadi guru dan tak tanggung-tanggung Saya membuat hampir 30 lamaran dan Saya kirimkan ke SMP Negeri dan SMA Negeri di Kota Semarang melalui jasa kantor Pos. Namun dari sekian banya surat lamaran tersebut, tak ada satupun ada panggilan kepada Saya untuk sekedar wawancara.

Tak cukup disitu, Saya juga coba menghubungi beberapa teman yang sudah lulus dan menjadi guru di kota Semarang meminta info tentang lowongan guru PAI di beberapa sekolah yang mereka kenal. Namun lagi-lagi usaha Saya tersembut kandas, karena tak ada satupun info lowongan untuk guru PAI di sekolah sekolah sekitar Semarang. Alhasil, Saya akhirnya tidak terlalu memaksakan diri untuk segera menjadi seorang guru seperti harapan orang tua. Saya tetap masih bekerja  sebagai kurir kosmetik dan penjaga warnet.

Saat Saya masih setia dengan pekerjaan Saya, saat itu di bulan Juli 2008 seorang teman kuliah Saya mengabari bahwa ada lowongan guru PAI di daerah Ungaran Kabupaten Semarang. Kalau berminat Saya diminta untuk segera menghubungi seorang teman yang ternyata sudah menjadi guru di daerah Ungaran karena dia yang memberikan informasi lowongan tersebut. Saya juga diminta segera mengirimkan surat lamaran ke lembaga sekolah yang membutuhkan tersebut.

Aku dan teman-teman


Masih dalam ingatan bahwa Saya membuat lamaran hari Kamis sekaligus saya kirimkan melalui kantor pos ke alamat SLB Negeri Ungaran, Jl. Kyai Sono. No. 2 Genuk Ungaran Barat. Setelah itu hari Jum’at pagi Saya berangkat ke tempat KKN Saya dulu di daerah Grabag Kabupaten Magelang karena menghadiri acara pernikahan teman sekaligus di dapuk jadi MC acara nikahan tersebut. Namun, saat siang hari sekitar habis duhur Saya mendapatkan telpon ternyata dari Wakil Kepala SLB Negeri Ungaran yang memberitahu bahwa hari Sabtu pagi (lupa tanggal) Saya diminta datang untuk wawancara.

Akhirnya niat untuk menginap sampai hari Minggu di rumah teman di Grabag, Magelang Saya urungkan dan Sabtu pagi sehabis subuh akhirnya Saya berangkat ke Ungaran untuk wawancara. Setelah sampai di SLB Negeri Ungaran ternyata bukan Saya saja yang melamar tetapi ada sekitar 10 orang juga melamar di sekolah ini dan salah satunya ternyata teman kuliah Saya. Setelah wawanacara selesai diumumkan bahwa 10 orang yang melamar semua diterima di SLB Negeri Ungaran sesuai dengan jenis lowongan masing-masing. Ada yang jadi penjaga sekolah, satpam, TU, guru kelas, dan Saya dan temen jadi guru Agama Islam untuk Saya di jenjang SMPLB dan SMALB sementara teman Saya mengajar agama Islam jenjang SDLB.

Setelah diumumkan diterima, selang sehari setalah wawancara tepatnya hari Senin di akhir bulan Juli 2008 Saya resmi menjadi seorang Guru Pendidikan Agama Islam di SLB Negeri Ungaran. Saat itu Saya merasa percaya dan tidak percaya, karena Saya akhirnya bisa mewujudkan harapan dari kedua orang tua Saya, meskipun sejujurnya saat itu Saya masih menganggap bahwa lembaga tempat saya bekerja adalah sekolah pada umumnya. Padahal kenyataannya ini adalah sekolah khusus bagi anak berkebutuhan khusus.

 

Stress dan Berniat Mengundurkan Diri

Pada dua minggu awal menjadi guru di sebuah SLB Negeri Ungaran Kabupaten Semarang sempat membuatku stress. Betapa tidak, Saya harus mengalami beberapa kejadian yang menurut Saya tidak lumrah terjadi di sekolah pada umumnya. Saat itu ketika Saya mengajar anak Tunagrahita  Sedang (C1) ada beberapa anak yang ngompol di kelas, bahkan ada yang BAB di kelas, saat itu saya syok kok begini ya?

Bukan hanya itu saja Saya semakin stress ketika mengajar anak Tunarungu (B) dimana mereka tidak bisa berbicara dan komunikasi dengan bahasa Isyarat. Bukan hanya karena anak-anak yang menjadi siswaku berbeda dengan siswa sekolah formal pada umumnya, tetapi Saya juga stress harus menggunakan metode apa untuk mengajar mereka. Padahal saat aku kuliah dulu tidak mendapatkan materi tentang bagaimana mengajar anak-anak SLB. 

Terus terang setelah dua minggu berlalu, Saya berniat mengundurkan diri karena kebingungan harus bagaimana mengajar anak-anak berkebutuhan khusus ini. Bukan hanya Tunagrahita (C&C1) dan Tunarungu(B) saja, di SLB Negeri Ungaran juga terdapat anak tuna netra/buta (A), Tunadaksa (D), Tunalaras (E) dan ada juga anak autis. Berbagai jurusan dan ketunaan tersebut jelas memerlukan penangan yang khusus dan berbeda-beda. Sehingga sangat wajar jika selama dua minggu pertama mengajar di SLB saya benar-benar sulit beradaptasi, bahkan sempat punya pikiran untuk mengundurkan diri sebagi guru SLB karena tidak sanggup melakukan tugas dengan baik.

 

Sabar, Ikhlas dan Niatkan Ibadah

Setelah mengalami kendala adaptasi dan terasa terbebani dengan tanggungjawab menjadi guru PAI SLB, Saya memutuskan untuk mengundurkan diri. Tetapi, sebelum itu Saya mencoba konsultasi ke bebarapa dosen Saya waktu kuliah yang sudah Saya anggap sebagai orang tua di Semarang. Ada dua dosen yang memang dekat dengan Saya dan mau mendengar curhat tentang masalah yang sedang Saya hadapi. Namun alangkah terkejutnya Saya mendengar nasehat beliau berdua, dimana mereka sama-sama menyarankan Saya tetap bertahan dan mereka berdua memberi pesan yang intinya sama “siap tahu mendidik ABK adalah jalan ibadah yang diridhoi Allah bagiku”

Tidak hanya kepada dosen, Saya juga curhat kepada beberapa teman dekat tentang masalah tersebut. Lagi-lagi jawabannya serupa, mereka menyarankan Saya bertahan menjadi guru SLB dan siapa tahu ini jalan ibadah terbaik buat Saya. Tak puas dengan jawaban-jawaban yang kuterima, akhirnya di akhir pekan Saya sempatkan pulang kampung di Blora untuk sungkem kepada Ibu dan Bapak sekaligus ingin memberitahu bahwa Saya sudah menjadi guru seperti harapan mereka. Disisi lain, Saya juga berniat berkonsultasi tentang apa yang Saya alami ketika mengajar di anak berlebutuhan khusus di SLB Negeri Ungaran.

Aku dan Muridku


Setelah  bertemu orang tua dan bercerita panjang lebar tentang masalah yang Saya hadapi ketika mengajar di sekolah, tidak Saya sangka ternyata jawaban orang tua terutama Ibu tidak jauh beda dengan jawaban dosen dan teman-teman Saya. Bahkan Ibu dengan bangganya berkata kepada Saya bahwa beliau Ikhlas dan meridhoi Saya menjadi guru di SLB Negeri Ungaran. Bagai disiram es hati ini mendengar jawaban Ibu. Setelah sowan orang tua ini, hati Saya belum sepenuhnya plong, oleh sebab itulah saat Saya kembali bekerja akhirnya berkonsultasi dengan salah satu teman guru yang sudah senior masa kerjanya kurang lebih sudah 25 tahunan beliau menjadi guru SLB.

Ada satu nasehat dari guru senior yang akhirnya membuatku bertahan menjadi guru SLB, nasehat tersebut adalah “jangan jadikan profesi guru SLB sebagai beban, tapi jadikanlah kegiatan mengajar anak-anak berkebutuhan khusus sebagai ibadah dan dengan hati yang senang”. Sebagai ibadah, karena pada prinsipnya mendidik merupakan sebuah ibadah apabila benar-benar diniati dengan sabar dan ikhlas apalagi mendidik anak-anak berkebutuhan khusus. Dengan hati yang senang, karena mendidik anak-anak SLB setiap hari guru bisa tertawa dengan berbagai polah dan tingkah laku yang kadang membuat setiap orang bisa dibuat tersenyum. Oleh sebab itulah kunci menjadi guru di SLB adalah harus senantiasa sabar, ikhlas dan senang serta diniati sebagai ibadah. 

 

Mengabdi Untuk Negeri

Setelah mendapatkan saran dan masukan yang berarti dari dosen, teman, orang tua dan juga teman senior guru akhirnya dengan mengucap “Bismillahirrahmanirrahiim” Saya mencoba memulai pekerjaan menjadi guru bagi anak berkebutuhan khusus dengan sabar, ikhlas, senang dan saya niati ibadah untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT.

Oleh sebab itulah, meskipun pada awalnya saya pesimis tentang pilihanku mengajar di SLB Negeri Ungaran ini, akan tetapi hal itu lambat laun terkikis dengan adanya semangat dan dorongan dari teman-teman sejawat, dosen, sahabat dan juga orang tua. Sejak saat itu Saya juga berpikir bahwa yang Saya lakukan adalah sarana berpartisipasi mencerdaskan kehidupan anak bangsa melalui mendidik anak-anak berkebutuhan khusus. Karena bagaimanapun juga anak-anak SLB juga memiliki hak yang sama sebagaimana anak-anak normal pada umumnya untuk mendapatkan pendidikan terbaik.

Mengabdi untuk Negeri


Selain itu, mendidik di SLB bagi saya pribadi merupakan salah satu bentuk pengabdian dan rasa cinta saya kepada bangsa ini. Karena bagi saya, anak-anak SLB merupakan generasi yang juga memiliki keistimewaan dengan berbagai kekurangan yang mereka miliki. Oleh sebab itulah, keikhlasan dalam mendidik mereka merupakan satu-satunya cara agar mereka dapat mendapatkan pendidikan yang layak dan terbaik.

Meskipun dalam perjalanan menjadi GPAI SLB Negeri Ungaran Saya pernah beberapa kali mengalami pengalaman yang bisa dikatakan tidak menyenangkan, seperti dikencingi dari belakang, dilempari dengan sepatu, diludahi, dikata-katain kotor, bahkan dipukuli, namun semuat itu Saya jadikan pelajaran berharga bahwa dalam perjalanan hidup Saya pernah mendidik hamba Allah yang berkebutuhan khusus.

Selain itu, menjadi guru bagi anak berkebutuhan khusus di SLB Negeri Ungaran merupakan salah satu bentuk pengabdian Saya kepada bangsa ini. Rasa cinta kepada Indonesia bisa dilakukan oleh setiap warga Negara dengan berbagai cara, dan inilah caraku mencintai Indonesia yaitu menjadi seorang guru. Guru yang mendidik anak-anak luar biasa yang memiliki keistimewaan. Wallahu A’alamu.


www.kangmasguru.com
Admin Blog ini bernama Fauzul Andim, seorang Guru SLBN Ungaran ALumnus UIN Walisongo Semarang. Lahir di Blora, kini domisili di Semarang Jawa Tengah.

Related Posts

Posting Komentar